Pemenuhan Hak Asasi Pendidikan Di Indonesia

Oleh: Onno W. Purbo



Dalam tulisan ini, saya akan mencoba membahas statistik pendidikan republik Indonesia dan memberikan alternatif solusi / cara berfikir untuk mengatasi masalah yang ada.

Sebagian besar dari kita pada saat mendengar kata pendidikan, maka yang akan terbayang adalah masalah kualitas dan cerahnya hari depan bagi mereka yang berhasil menjadi yang terbaik dalam proses pendidikan tersebut. Tidak banyak dari kita yang memikirkan mereka yang terbuang karena keterbatasan sistem pendidikan yang dibangun di Indonesia.

Mari kita melihat statistik yang ada.

Dari tabel “Persentase Penduduk Usia 7-24 Tahun Menurut Jenis Kelamin, Kelompok Umur Sekolah, dan Partisipasi Sekolah 1, 2002-2014”http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1533 terlihat di tahun 2014

usia 7-12 tahun 98,92% sekolah 0,21 tidak sekolah
usia 13-15 tahun 94,44% sekolah 4,89% tidak sekolah
usia 16-18 tahun 70,31% sekolah 28,93% tidak sekolah
usia 19-24 tahun 22,82% sekolah 76,24% tidak sekolah

Hal ini tidak mengherankan jika kita melihat statistik “Jumlah Desa yang Memiliki Fasilitas Sekolah Menurut Provinsi dan Tingkat Pendidikan, 2003-2014” http://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/905 di tahun 2014, terlihat bahwa

SD ada di 71.205 desa
SMP ada di 34.965 desa
SMU ada di 14.824 desa
SMK ada di 8.512 desa
Univ ada di 2.901 desa

Akibatnya sebetulnya cukup fatal, karena gambaran throughput sistem pendidikan Indonesia tidak berbeda jauh dengan throughput yang berhasil penulis kumpulkan dari statistik yang ada di tahun 2005 lalu.

Pemikiran Solusi

Tentunya kita perlu mencarikan solusi agar Hak Asasi Anak Indonesia tetap terpenuhi dengan keterbatasan anggaran, SDM, industri, sarana maupun pra-sarana yang ada.

Secara umum, kita perlu memikirkan solusi yang tidak mengikat terhadap dimensi ruang dan waktu dalam proses pendidikan anak muda Indonesia. Mungkinkah kita melakukan pendidikan tidak melalui kelas? Ruang? Tidak dibatasi waktu? Kertas? Ujian?
Sebetulnya sangat mungkin, misalnya menggunakan e-learning seperti di http://cyberlearning.web.id/moodle yang sudah beroperasi lebih dari satu tahun dengan jumlah siswa / mahasiswa lebih dari 11.000 orang! Dengan SPP gratis.

Akan tetapi, dari sisi regulasi operasi seperti ini akan menjadi polemik yang besar, karena aturan yang ada mengharusnya mekanisme auditing yang ketat terutama dari Badan Akreditasi, seperti absensi, soal ujian yang dicetak, sekolah yang harus ada ruang kelas, perpustakaan dll. Padahal ujian tertulis dan cetak sangat mengkonsumsi biaya, bisa mencapai Rp. 5 juta / ujian / sekolah hanya untuk fotocopy soal saja.

Pertanyaannya, maukah kita berubah? Maukah kita memudahkan anak muda Indonesia dalam meraih ilmu?
Entahlah ini merupakan tantangan baik bagi Kementerian maupun para pimpinan daerah yang ingin memajukan wilayahnya masing-masing.

/*Tulisan ini saya dapatkan dari Kang Onno W Purbo dengan saya tambahi foto pelajar yang sedang melakukan Aktivitas pembelajaran*/

Share this

Related Posts

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
:-?
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
$-)
(y)
(f)
x-)
(k)
(h)
cheer